Silahkan klik DETAIL pada kolom product untuk melihat pilihan jenis serinya dan deskripsi product..!!

Artikel

Mitos Di Balik Motif Batik Solo?

Mitos di seputar cerita tentang keris atau wayang sering kita dengar. Tetapi mitos di seputar pembuatan batik, barangkali hanya sedikit yang pernah beredar.
Misalnya saja mitos penciptaan motif batik sidoluhur yang menuntut pencipta awalnya untuk menahan nafas berlama-lama. Atau tentang batik parang yang tercipta karena kekaguman seorang Panembahan Senopati kepada alam sekitarnya, atau juga tentang truntum yang konon tercipta karena dorongan sebuah pengharapan seorang garwa ampil kepada rajanya dan sebagainya.
Ya, sebagaimana keris, batik juga mempunyai mitos-mitos yang melingkupinya. Motif sidoluhur yang diciptakan Ki Ageng Henis, kakek dari Panembahan Senopati pendiri Mataram Jawa, serta cucu dari Ki Selo adalah contohnya. Konon motif sidoluhur dibuat khusus oleh Ki Ageng Henis untuk anak keturunannya. Harapannya agar si pemakai dapat berhati serta berpikir luhur sehingga dapat berguna bagi masyarakat banyak.

batik truntum garuda
Menurut seorang pengamat budaya Jawa, Winarso Kalinggo, motif itu kemudian dimanifestasikan ke selembar kain (dicanting) oleh Nyi Ageng Henis. Nyi Ageng sendiri adalah seorang yang mempunyai kesaktian. Mitosnya, Nyi Ageng selalu megeng (menahan) nafas dalam mencanting sampai habisnya lilin dalam canting tersebut. Hal itu dimaksudkan agar konsentrasi terjaga dan seluruh doa dan harapan dapat tercurah secara penuh ke kain batik tersebut.
Sampai sekarang pun, secara umum, proses penciptaan batik masih sama seperti jaman dulu. Laki-laki membuat motif, yang wanita mencanting. Pada proses parang juga seperti itu. Panembahan Senopati (bertahta 1540–1553 J) dikenal sebagai pencipta motif parang. Panembahan mendapat inspirasi semasa ia melakukan teteki (menyepi dan bersemadi) di goa pinggir Laut Selatan. Ia begitu kagum terhadap stalagmit dan stalaktit yang ada di dalam goa yang dalam pandangan Panembahan sangat khas khususnya pada saat gelap. Setelah menjadi Raja Mataram, ia pun menyuruh para putri kraton untuk mencanting motif tersebut.
Tetapi ada pengecualian dalam proses penciptaan motif truntum. Menurut Winarso Kalinggo, motif itu diciptakan oleh Kanjeng Ratu Beruk. Anak dari seorang abdi dalem bernama Mbok Wirareja ini adalah isteri dari Paku Buwono III (bertahta dari 1749–1788 M) tetapi berstatus garwa ampil, bukan permaisuri kerajaan.
Persoalan status ini menjadikan Kanjeng Ratu Beruk selalu gundah. Ia mendamba jadi permaisuri kerajaan, sebuah status yang begitu dihormati dan dipuja orang sejagad keraton. Tapi lebih dari semua itu, Kanjeng Ratu Beruk ingin selalu berada di samping sang raja agar malam-malam sunyi tidak ia lewati sendirian.
Pada suatu malam, perhatian Kanjeng Ratu Beruk tertuju pada indahnya bunga tanjung yang jatuh berguguran di halaman keraton yang berpasir pantai. Seketika itu juga ia mencanting motif truntum dengan latar ireng (hitam). “Ini refleksi dari sebuah harapan. Walaupun langit malam tiada bulan, masih ada bintang sebagai penerang. Selalu ada kemudahan disetiap kesulitan. Sekecil apa pun kesempatan, ia tetap bernama kesempatan,” begitu ujar Winarso Kalinggo melukiskan harapan Ratu pembuat truntum.


batik truntum parang
Cerita lain menyebutkan, Paku Buwono III juga seorang kreator motif batik. Dia memerintah pada masa penuh guncangan pasca perjanjian Giyanti (1755). Seluruh pusaka dan batik kraton telah dibawa ke Jogja oleh Pangeran Mangkubumi. Dimulailah perang dingin itu. Kerap terjadi saling ejek antara orang Solo dan Jogja. Batik Solo motif krambil sesungkil dan slobok yang dipakai para isteri bangsawan untuk melayat, di Jogja dipakai untuk para punakawan dalam kisah pewayangan. Begitu juga sebaliknya, batik Jogja motif kawung yang dipakai untuk melayat, di Solo dipakai oleh para punakawan. Benar-benar ejekan yang sangat menghina pada waktu itu.
“Antara lain, hal seperti itulah yang membuat Paku Buwono III terguncang,” kata Winarso Kalinggo. Untuk meredam guncangan tersebut ia mencari ilham. Ia melakukan teteki dengan cara kungkum (berendam) Kali Kabanaran. Lokasi ini persis di dekat makam Ki Ageng Henis. itu dia lakukan pada malam hari dan hanya ditemani oleh penerangan dari teplok. Waktu dini hari, hujan gerimis mulai turun seakan turut sedih melihat kondisi saat itu. Profil hujan gerimis yang tertangkap oleh cahaya teplok itulah yang kemudian hari menjadi motif udan riris.
Periode Paku Buwono IV (bertahta 1788–1820 M) adalah periode kebebasan berekspresi bagi rakyat kebanyakan. Sebelum PB IV, batik dijadikan alat untuk menjalankan kekuasaan maka pada masa PB IV banyak motif batik yang lahir dari rakyat biasa. Mitos pun bermunculan. Antara lain adalah kisah batik yang digunakan sebagai pembungkus atau popok bayi (kopohan).
Kopohan adalah batik yang digunakan oleh satu keluarga batih secara turun-temurun. Kopohan digunakan sesekali saja, sebagai pembungkus bayi saat bayi baru lahir. Kemudian dicuci hanya oleh pihak keluarga. Setelah itu lalu disimpan di lemari dengan wewangian dari akar lara setu. Kain tersebut baru boleh dikeluarkan dari lemari sebagai suwuk (terapi magis) bagi si bayi di saat sakit.
Mitos akan motif batik yang terbaru adalah mitos motif kembang bangah. Kembang bangah diciptakan oleh Go Tik Swan yang bergelar Panembahan Hardjonagoro (Otobiografi Go Tik Swan Hardjonagoro, Orang Jawa Sejati, penulis Roestopo).
Batik kembang bangah adalah ungkapan protes terhadap keadaan pemerintah yang dinilai tidak berpihak pada rakyat jelata, melainkan pada kapitalisme. Kembang bangah adalah bunga bangkai yang berkelopak indah tapi baunya sangat busuk. Persis seperti gambaran saat itu. Bagi kebanyakan orang, kembang bangah adalah ramalan tentang ontran-ontran (kerusuhan) yang terjadi di tahun 1992. Mulai dari rusuh sebelum Pemilu sampai pada aksi para buruh di Tyfountex Solo.
Itulah beberapa cerita dan mitos di balik proses penciptaan motif batik. Terserah bagi kita untuk mempercayai atau tidak.
Sumber : kabarsoloraya.com

Perbedaan Batik Tulis dan Batik Cap
  • Ragam Batik
Ada beberapa pandangan yang mengelompokkan batik menjadi dua kelompok seni batik, yakni batik keraton (Surakarta dan Yogyakarta) dan seni batik pesisir.


Motif seni batik keraton banyak yang mempunyai arti filosofi, sarat dengan makna kehidupan. Gambarnya rumit/halus dan paling banyak mempunyai beberapa warna, biru, kuning muda atau putih. Motif kuno keraton seperti pola panji (abad ke-14), gringsing (abad 14), kawung yang diciptakan Sultan Agung (1613-1645), dan parang, serta motif anyaman seperti tirta teja.

Kemudian motif batik pesisir memperlihatkan gambaran yang lain dengan batik keraton. Batik pesisir lebih bebas serta kaya motif dan warna. Mereka lebih bebas dan tidak terikat dengan aturan keraton dan sedikit sekali yang memiliki arti filosofi. Motif batik pesisir banyak yang berupa tanaman, binatang, dan ciri khas lingkungannya. Warnanya semarak agar lebih menarik konsumen.

Perbedaan Batik Tulis dan Cap

Batik Tulis

Dikerjakan dengan menggunakan canting yaitu alat yang terbuat dari tembaga yang dibentuk bisa menampung malam (lilin batik) dengan memiliki ujung berupa saluran/pipa kecil untuk keluarnya malam dalam membentuk gambar awal pada permukaan kain. Bentuk gambar/desain pada batik tulis tidak ada pengulangan yang jelas, sehingga gambar nampak bisa lebih luwes dengan ukuran garis motif yang relatif bisa lebih kecil dibandingkan dengan batik cap. Gambar batik tulis bisa dilihat pada kedua sisi kain nampak lebih rata (tembus bolak-balik) khusus bagi batik tulis yang halus. Warna dasar kain biasanya lebih muda dibandingkan dengan warna pada goresan motif (batik tulis putihan/tembokan). Setiap potongan gambar (ragam hias) yang diulang pada lembar kain biasanya tidak akan pernah sama bentuk dan ukurannya. Berbeda dengan batik cap yang kemungkinannya bisa sama persis antara gambar yang satu dengan gambar lainnya. Waktu yang dibutuhkan untuk pembuatan batik tulis relatif lebih lama (2 atau 3 kali lebih lama) dibandingkan dengan pembuatan batik cap. Pengerjaan batik tulis yang halus bisa memakan waktu 3 hingga 6 bulan lamanya. Alat kerja berupa canting harganya relatif lebih murah berkisar Rp. 10.000,- hingga Rp. 20.000,-/pcs. Harga jual batik tulis relatif lebih mahal, dikarenakan dari sisi kualitas biasanya lebih bagus, mewah dan unik.
Batik Cap

Dikerjakan dengan menggunakan cap (alat yang terbuat dari tembaga yang dibentuk sesuai dengan gambar atau motif yang dikehendaki). Untuk pembuatan satu gagang cap batik dengan dimensi panjang dan lebar : 20 cm X 20 cm dibutuhkan waktu rata-rata 2 minggu. Bentuk gambar/desain pada batik cap selalu ada pengulangan yang jelas, sehingga gambar nampak berulang dengan bentuk yang sama, dengan ukuran garis motif relatif lebih besar dibandingkan dengan batik tulis. Gambar batik cap biasanya tidak tembus pada kedua sisi kain. Warna dasar kain biasanya lebih tua dibandingkan dengan warna pada goresan motifnya. Hal ini disebabkan batik cap tidak melakukan penutupan pada bagian dasar motif yang lebih rumit seperti halnya yang biasa dilakukan pada proses batik tulis. Korelasinya yaitu dengan mengejar harga jual yang lebih murah dan waktu produksi yang lebih cepat. Waktu yang dibutuhkan untuk sehelai kain batik cap berkisar 1 hingga 3 minggu. Untuk membuat batik cap yang beragam motif, maka diperlukan banyak cap. Sementara harga cap batik relatif lebih mahal dari canting. Untuk harga cap batik pada kondisi sekarang dengan ukuran 20 cm X 20 cm berkisar Rp. 350.000,- hingga Rp. 700.000,-/motif. Sehingga dari sisi modal awal batik cap relatif lebih mahal. Jangka waktu pemakaian cap batik dalam kondisi yang baik bisa mencapai 5 tahun hingga 10 tahun, dengan catatan tidak rusak. Pengulangan cap batik tembaga untuk pemakainnya hampir tidak terbatas. Harga jual batik cap relatif lebih murah dibandingkan dengan batik tulis, dikarenakan biasanya jumlahnya banyak dan miliki kesamaan satu dan lainnya tidak unik, tidak istimewa dan kurang eksklusif.
Sumber : Ragam Batik

Tips Perawatan Batik

Agar warna batik berbahan sutra dan serat tidak cepat pudar, awet dan tetap tampak indah. Mencuci kain batik dengan menggunakan shampo rambut. Sebelumnya, larutkan dulu shampo hingga tak ada lagi bagian yang mengental. Setelah itu baru kain batik dicelupkan.

Anda juga bisa menggunakan sabun pencuci khusus untuk kain batik yang dijual di pasaran. Pada saat mencuci batik jangan digosok. Jangan pakai deterjen. Kalau batik tidak kotor cukup dicuci dengan air hangat. Sedangkan, kalau kotor, misalnya terkena noda makanan, bisa dihilangkan dengan sabun mandi atau bila kotor sekali, seperti terkena buangan knalpot, noda bisa dihilangkan dengan kulit jeruk dengan mengusapkan sabun atau kulit jeruk pada bagian yang kotor. Sebaiknya Anda juga tidak menjemur kain batik di bawah sinar matahari langsung (tempat teduh). Kain batik jangan dicuci dengan menggunakan mesin cuci. Tak perlu memeras kain batik sebelum menjemurnya. Namun, pada saat menjemur, bagian tepi kain agak ditarik pelan-pelan supaya serat yang terlipat kembali seperti semula.

Sebaiknya hindari penyeterikaan. Kalaupun terlalu kusut, semprotkan air di atas kain kemudian letakkan sebuah alas kain di bagian atas batik itu baru diseterika. Jadi, yang diseterika adalah kain lain yang ditaruh di atas kain batik.

Disarankan untuk menyimpan batik dalam plastik agar tidak dimakan ngengat. Jangan diberi kapur barus, karena zat padat ini terlalu keras sehingga bisa merusak batik. Sebaiknya, almari tempat menyimpan batik diberi merica yang dibungkus dengan tisu untuk mengusir ngengat. Alternatif lain menggunakan akar wangi yang sebelumnya dicelup dulu ke dalam air panas, kemudian dijemur, lalu dicelup sekali lagi ke dalam air panas dan dijemur. Setelah akar wangi kering, baru digunakan

Anda sebaiknya juga tidak menyemprotkan parfum atau minyak wangi langsung ke kain atau pakaian berbahan batik sutera berpewarna alami.

Bila Anda ingin memberi pewangi dan pelembut kain pada batik tulis, jangan disemprotkan langsung pada kainnya. Sebelumnya, tutupi dulu kain dengan koran, baru semprotkan cairan pewangi dan pelembut kain.
Sumber : Perawatan Batik

Penemu Batik Sutra Yang Sempat Ditertawakan Orang

BERBICARA soal batik, kita tak bisa melepaskan nama Pekalongan. Suka atau tidak, daerah ini tak bisa dilepaskan dari perkembangan karya seni yang pada akhirnya berubah menjadi produk industri yang menopang hidup jutaan jiwa warga di negeri ini.
Di Pekalongan ini, batik menjadi karya seni yang diproduksi secara massal dalam berbagai bentuk dan motif. Salah satu perkembangan seni batik yang sudah populer adalah batik sutra.
Motif batik yang digoreskan di atas bahan yang terbuat dari serat ulat sutra, saat ini menjadi salah satu jenis batik yang banyak dicari, khususnya di kalangan menengah ke atas dari berbagai daerah di Indonesia.
Namun, meski menjadi salah satu produk yang terkenal di seantero negeri, tak banyak yang tahu siapa yang pertama kali menemukan ide pembuatan batik di atas kain sutra tersebut.
Batik sutra yang sangat laris sejak tahun 1985, ternyata ditemukan pertama kali oleh H Soesilo (67), salah satu perajin batik dari Wiradesa, Kabupaten Pekalongan.
Saat ditemui Suara Merdeka di kediamannya, perajin batik tulis beranak enam itu mengaku, pertama kali menemukan batik sutra sekitar tahun 1970. Waktu itu, dia sudah keliling ke berbagai daerah dan belum ada jenis batik yang dibuat dari kain sutra. ''Sekitar tahun 1970, saya pertama kali melakukan uji coba pembuatan batik di atas kain sutra. Jadi, sayalah penemu batik sutra pertama. Jika ada yang mengaku-ngaku, suruh datang ke sini,'' tandasnya.
Penemuan dan pengolahan batik sutra pertama kali, kata dia, sangat sulit. Dia mengaku harus melakukan uji coba sampai satu tahun, baru bisa berhasil membuat batik sutra yang layak untuk diperkenalkan kepada masyarakat.
Selain harus uji coba berulang-ulang, Soesilo mengaku, harus siap menerima ejekan banyak orang yang tahu bahwa dirinya membuat batik di atas kain sutra. ''Saya sempat ditertawakan orang karena membuat batik di atas kain sutra, waktu itu tidak lazim,''ujarnya.
Namun, dia tak memedulikan itu dan tetap melakukan uji coba, hingga kemudian berhasil membuat batik sutra, yang sekarang menjadi pakaian untuk acara resmi kalangan menengah ke atas.

Soda As
Hal yang sulit dalam penemuan batik sutra, kata dia, adalah dalam pelorotan (pelarutan lilin-Red). Untuk melorotkan lilin, dia membutuhkan waktu lama dan harus berganti-ganti media hingga menemukan larutan yang tepat.
Namun dalam perkembangannya, penggunaan bensin dia rasa tidak efektif karena sangat mahal. Kemudian, dalam uji coba selanjutnya, dia menemukan larutan soda as yang sangat bagus untuk melarutkan lilin, sehingga terus digunakan hingga sekarang.
Batik sutra temuannya, tambah dia, mulai diperkenalkan dan diterima masyarakat sekitar tahun 1978 dan mulai laris sekitar tahun 1980-an. Hingga puncaknya pada 1985, batik sutra menjadi salah satu jenis batik yang banyak dicari, khususnya oleh kalangan menengah ke atas.
Meledaknya produk batik sutra waktu itu, mendorong munculnya beberapa jenis batik yang meniru sutra yang akrab disebut ''sutra kecewa''. Jenis batik yang sepintas sama dengan sutra asli itu, bahkan ikut laris dan banyak dicari karena harganya jauh lebih murah dari sutra asli.
Meski telah menemukan jenis batik yang sudah terkenal di seantero negeri dan banyak ditiru, tapi Soesilo mengaku tak akan mematenkan hak ciptanya. '' Biarlah seperti ini, saya tak akan mematenkan hak cipta atau menuntut mereka yang meniru atau mengaku-ngaku produk ciptaan saya. Biarlah bagi-bagi rezeki karena masing-masing punya segmen pasar yang berbeda,'' paparnya. (Muhammad Burhan, Trias Purwadi-80i)
sumber: Suara Merdeka


 

Klik DISINI untuk ORDER

0 komentar:

Posting Komentar